Sabtu, 30 Oktober 2010

Mendidik Islami Ala Luqman Al-Hakim

jabat-tanganDan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar ….. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan  dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. (Luqman: 13-19)

Menghindari Kesalahan Memotivasi

Sikap terbuka dan mau mendengarkan anak, sangat penting untuk dimiliki ibu

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Kalau boleh, saya ingin mengatakan bahwa setiap ibu mendambakan anak-anaknya menjadi manusia yang berguna sesuai harapan orangtua.

Naluri setiap ibu menyayangi dan mendidik anak-anaknya agar kelak tidak saja berhasil bagi dirinya sendiri, tetapi sekaligus membahagiakan orangtua, tetangga dan masyarakat.

Keberhasilan anak dalam meniti hidupnya adalah keberhasilan orangtua, terutama ibu. Karena perjalanan anak banyak ditentukan oleh pendidikan yang diberikan oleh ibu selama masa-masa perkembangan.

Didorong oleh rasa sayangnya kepada anak, seorang ibu banyak tampil memotivasi anak. Tindakan ini bagus. Anak yang berhasil, seringkali lahir justru bukan dari banyaknya fasilitas yang dimiliki. Lebih penting dari itu, motivasi tinggilah yang banyak memberi sumbangan pada semangat anak demi berusaha dan menyikapi “kesulitan-kesulitan“ yang dialami.

Tetapi…

Rabu, 20 Oktober 2010

Lima Tanda Orang yang Diterima Shalatnya

Menangis dan mengemislah kepada Allah, serta memohon ampunan atas gulungan ombak dosa seraya berucap, “Astaghfirullah

Oleh: Ali Akbar bin Agil*

SUDAH sering kita mendengar bahwa shalat adalah tiang agama. Shalat adalah amal yang paling pertama ditanya oleh Allah di hari kiamat. Jika shalat kita baik, baiklah seluruh amal perbuatan lainnya. Namun jika shalat kita jelek atau bahkan nol besar, maka buruklah semua perbuatan yang kita jalani, demikian petuah Nabi SAW kepada kita sekalian.

Sesekali kita perlu merenung, baikkah shalat yang kita kerjakan? Suatu waktu kita perlu berpikir, apakah shalat kita diterima di sisi-Nya? Bukankah Allah pernah berfirman celakalah orang-orang yang shalat? Siapakah di antara kita yang diterima shalatnya? Dan seperti apa tanda-tanda orang yang diterima shalatnya? Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan ada 5 tanda orang yang shalatnya diterima.

Pertama, dia yang merendahkan diri dengan shalatnya karena kebesaran Allah. Shalat yang diterima adalah shalat yang penuh kerendahan diri di hadapan kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Orang yang rendah diri akan mampu merasakan khusyu` dalam hatinya. Jiwanya sadar dan mengerti dengan siapa ia saat ini menghadap.

Karena itu, sebelum shalat, yang harus ditata terlebih dahulu adalah hati. Hati itu seperti pohon. Bila dahannya rindang, burung-burung pun senang hinggap di atasnya. Bila hati bercabang pikiran-pikiran dan nafsu pun senang bermain di dalamnya. Shalatlah shalat yang memutuskan perpisahan dari dunia. Allah tidak akan terasa bila urusan dunia menggelayut dalam hati.

Kedua, orang yang tidak menyombongkan diri kepada makhluk Allah. Rasa tawadhu` dengan sendirinya menghilangkan sikap angkuh dan sombong kepada sesama makhluk. Kekuasaan yang ada di genggamannya tidak menyebabkan dirinya lupa daratan lalu berbuat sewenang-wenang karena ia sadar bahwa kekuasan adalah amanat Allah.

Orang yang diterima shalatnya adalah orang yang tidak menyombongkan dirinya kepada siapa pun. Meski ia kuasa, pandai, dan kaya. Tidak termasuk orang yang diterima shalatnya kalau bertingkah sombong kepada sesamanya.

Ketiga, orang yang tidak mengulangi maksiat kepada Allah. Dalam hidup, sekali waktu kita pernah terjerembab dalam kubangan dosa. Mungkin di antara kita ada yang pernah memalsukan kwitansi jual-beli. Mungkin ada dari kita yang pernah menjadi tukang copet, koruptor, atau penjual kehormatan. Mungkin ada dari kita yang pernah berdusta, menggunjing, berbohong, menebar janji-janji `surga' kepada rakyat saat Pilkada yang tak ditepati. Kenanglah perbuatan masa lalu itu sebelum shalat, lalu lakukan shalat dengan hati taubat dan siap menghadap kepada-Nya.

Menangis dan mengemislah kepada Allah, memohon ampunan atas gulungan ombak dosa seraya berucap, “Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah.” Usai shalat, jangan ulangi maksiat yang pernah kita lakukan.

Keempat, orang mengisi sebagian siangnya dengan berzikir kepada Allah. Waktu bagi orang mukmin, amatlah berharga. Manajemen waktu dilaksanakan dengan penuh kedisplinan. Sebagian detik-detiknya ia lalui dengan meladeni Allah, bersimpuh sujud, ingat dan tawakkal kepada-Nya.

Nabi yang merupakan sosok dengan keterjagaan dari segala dosa, baik yang telah lewat maupun akan datang, toh beliau tidak jumawah. Beliau beristighfar memohon ampunan kepada Allah tidak kurang 100 kali dalam sehari. Bagaimana dengan kita?

Kelima
, orang yang menyayangi orang miskin, orang dalam perjalanan, wanita yang ditinggal suaminya, dan yang mengasihi orang yang ditimpa musibah. Shalat yang dilakukan membekas dalam kehidupan sebagai khalifah Allah yang saling cinta-mencintai, sayang-menyanyangi antara satu dengan lainnya. Ibadah sosial menjadi warna-warni bunga hidupnya yang senantiasa ia berikan kepada siapa saja untuk membahagiakan diri orang lain yang membutuhkan.

Bila kelima ciri orang yang diterima shalatnya ini telah terpenuhi, maka kata Allah:

“Cahayanya bagaikan cahaya matahari. Aku lindungi dia dengan kekuasaan-Ku. Aku perintahkan malaikat menjaganya. Aku jadikan cahaya dalam kegelapannya. Aku berikan ilmu dalam ketidaktahuannya. Perumpamannya dibandingkan dengan makhluk-Ku yang lain adalah seperti perumpamaan firdaus di surga.”

Enam Taubatnya Anggota Tubuh

Taubatnya pendengaran dengan tidak menyimak kebatilan. Taubatnya kemaluan dengan berhenti berbuat keji

oleh: Ali Akbar bin Agil*

MENJAGA hati merupakan pekerjaan berat. Butuh kesungguhan dalam menghadapi godaan yang datang secara bertubi-tubi yang terkadang membuat kita terkapar menyerah dengan keadaan yang ada. Padahal, hati laksana mahkota dalam jiwa.

Hati, sebagaimana diungkap oleh Syaikh Abdullah bin Alwi Al-Haddad, adalah raja seluruh angota tubuh. Hati merupakan sumber akidah, akhlaq, niat yang tercela maupun terpuji. “Seseorang tidak akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat kecuali sanggup menyucikan hatinya dari keburukan dan kehinaan serta menghiasinya dengan kebaikan dan keutamaan,” tulisnya.

Di sinilah, sekali lagi, pentingnya menata hati. Dalam diri kita, seperti menirukan sabda Nabi Muhamad SAW, “Ada segumpal daging. Jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh, itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim).

Supaya tidak terjerumus dalam kubangan maksiat yang membuahkan penyesalan tiada terperihkan, ada baiknya kita melakukan langkah-langkah berikut ini.

Pertama, jangan memulai berbuat maksiat. Proses terjadinya maksiat diceritakan secara detail oleh Ibnu Qayyim. Katanya, “Lawanlah lintasan itu! Jika dibiarkan, ia akan menjadi fikrah (gagasan). Lawanlah fikrah itu! Jika tidak, ia akan menjadi syahwat. Perangilah syahwat itu! Jika tidak, ia akan menjadi `azimah (hasrat). Apabila ini juga tidak dilawan, ia akan berubah menjadi perbuatan. Dan jika perbuatan itu tidak Anda temukan lawannya maka ia akan menjadi kebiasaan, dan setelah itu suit bagimu meninggalkannya.”

Sekecil apapun peluang maksiat, tutup segera. Membuka hati untuk maksiat sama saja mempersilakan diri kita dijarah oleh setan dan dosa. Sebuah maksiat akan melahirkan maksiat berikutnya. Demikian seterusnya, lambat laun ia menjadi sebuah tren dalam denyut kehidupan seseorang. Sehingga membutuhkan energi yang luar biasa untuk menghentikan luapan maksiat tersebut.

Kedua, menjernihkan hati. Hati yang jernih membuat kita lebih sensitif terhadap maksiat. Menjernihkan hati diawali dengan zuhud. Hidup zuhud bukan berarti lari dari dunia, menjauhi manusia. Tapi menjalani pola hidup dengan kebersahajaan, kesejajaran, tidak berlebihan, proposional, dan sesuai kebutuhan bukan yang selaras keinginan.

Ibrahim bin Adham ditanya oleh seseorang, “Bagaimana engkau mendapatkan zuhud?” Ibrahim menjawab, “Dengan tiga perkara: (1) Saya melihat keadaan kubur yang mengerikan sedang belum kudapati pelipur (2) Saya melihat sebuah jalan yang panjang sementara belum kumiliki bekal (3) Dan saya melihat Allah yang Maha Perkasa mengadili, padahal saya belum memiliki hujjah (argumentasi).”
Kejernihan hati menjadi sumber ketenteraman hidup. Tidak gusar dan gelisah atas apa yang tidak ada serta selalu bersyukur dengan apa yang ada. Sebaliknya, kegersangan hati sebagai akibat ketidakmampuan mengendalikan diri, membuat gerakan dan nafas tersenggal-senggal, terseok-seok tak tentu arah.

Ketiga
, bertaubat. Tidak ada manusia suci selain para Nabi dan Rasul. Jika suatu saat kita melakukan maksiat baik disengaja ataupun tidak, solusinya adalah dengan bertaubat, memohon ampun kepada Allah. Inilah cara ketiga.

Taubat dari segala tindak tanduk maksiat, mulai anggota tubuh hingga ke dalam hati. Dzun Nun Al-Misri menjelaskan cara taubat secara menyeluruh. Ia berkata, “Setiap anggota tubuh manusia ada ‘jatah’ taubatnya:  (1) Taubatnya hati dengan berniat meninggalkan hal-hal yang dilarang (2) Taubatnya mata dengan menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram (3) Taubatnya kedua tangan dengan meninggalkan penggunaan sesuatu yang bukan haknya (4) Taubatnya kedua kaki dengan meninggalkan usaha berjalan ke tempat-tempat yang membuat lalai kepada Allah (5) Taubatnya pendengaran dengan tidak menyimak kebatilan (6) Taubatnya kemaluan dengan berhenti berbuat keji.”

Tiga cara tersebut merupakan upaya mengorganisasikan kembali hatiku, hatimu, dan hati kita yang centang-perenang. Semoga.

Waktumu adalah Umurmu!

Tanda orang yang merugi adalah banyak berkumpul namun tidak untuk menambah ilmu. Banyak berbasa-basi, bercanda, dan banyak bicara 
 
Dari Ibnu 'Abbas ra, Rasulullah bersabda:
 
وَالْفَرَاغُالصِّحَّةُ:النَّاسِ مِنَ كَثِيْرٌ فِيْهِمَا مَغْبُوْنٌ نِعْمَتَانِ
 
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, nikmat sehat dan waktu luang.” (Riwayat Bukhori). (HR. Bukhori no.6412, At-Tirmidzi no.2304, Ibnu Majah no.4170, Ahmad no. I/258-344), Ad-Darimi no.II/297, Al-Hakim no.IV/306)
 
Waktu adalah ukuran zaman. Hari-hari yang kita lewati adalah umur kita. Apabila ia berlalu, maka hilanglah bagian dari hidup kita. Waktu adalah karunia terbesar dan paling berharga bagi manusia. Waktu menjadi rahasia berbagai prestasi cemerlang bagi seseorang ketika mampu menatanya dengan seksama.
 
Mumpung seseorang masih punya kesempatan waktu muda, maka seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Masa muda sebagai waktu emas, saat masih memiliki kekuatan semangat, pikiran masih jernih, kesibukan masih sedikit, dan tekat yang kuat. Sebaliknya pada usia tua, jasad semakin lemah, beban semakin berat, penyakit sering mampir, dan kekuatan pun kian berkurang.
 
Semua bentuk tindakan, kesungguhan, kekuatan, kemuliaan, kenikmatan, dan pencapaian tujuan adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan ketika badan sehat dan adanya waktu luang. Kewajiban yang seharusnya kita tunaikan teramat banyak, sementara waktu terluang sangat terbatas. Dengan waktu pula, betapa banyak lahan yang bisa diolah, berapa banyak perusahaan yang bisa didirikan, berapa ribu orang yang bisa dibantu dan yayasan yang bisa dikembangkan. Namun betapa banyak pula yang sudah puas dengan sedikit kualitas, sudah bangga dengan amal yang belum ada apa-apanya.
 
Tidaklah Allah bersumpah dalam al-Quran dengan meggunakan kata waktu, wal-‘ashri, wad-dhuha, wal-laili, bis-syafaqi, wal-fajri, dan sebagainya, kecuali semuanya mengisyaratkan tentang betapa pentingnya waktu. Dimaksudkan agar manusia disiplin penuh perhatian terhadap masa hidupnya. 
 
Waktu yang Allah berikan kepada kita lebih berharga daripada emas karena ia adalah kehidupan itu sendiri. Seorang Muslim tidak pantas menyia-nyiakan waktu luangnya untuk hanya bercanda, bergurau, main-main, dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Karena ia tidak akan pernah mampu mengganti waktunya yang telah berlalu. Siapa yang mengabaikan waktunya, maka semakin besarlah kerugiannya, sebagaimana kerugian orang sakit, dia merasa rugi kehilangan kesehatan dan kekuatannya.
 
Seorang Muslim yang pada dirinya terkumpul dua nikmat ini, yakni kesehatan badan dan waktu luang, maka hendaknya menunaikan hak keduanya untuk melakukan ketaatan dan meraih kedekatan kepada-Nya. Tapi jika menyia-nyiakannya maka sebenarnya ia adalah manusia yang tertipu. Sebab, kesehatan akan digantikan dengan sakit dan waktu luang akan digantikan dengan kesibukan. Sebagaimana seorang pedagang yang memiliki modal, yaitu kesehatan dan waktu luang, maka ia tidak boleh menyia-nyiakan modalnya yang ada padanya selain ketaatan kepada Allah.
 
Seseorang yang memiliki badan yang sehat tanpa menggunakannya untuk tindakan yang berguna dan tidak pula berbuat untuk akhiratnya adalah orang yang merugi. Dalam kenyataan memang kebanyakan manusia tidak menggunakan kesehatan dan waktu luang. Mereka malah membuang usia dan mempermainkan umur. Kadang-kadang manusia juga tidak memiliki waktu luang. Waktunya habis hanya untuk mencari makan dan kebutuhan periuk nasi. Sebaliknya terkadang memiliki waktu luang namun badannya sakit, jiwanya juga sakit, malas, loyo, tidak bergairah yang pada akhirnya berujung pada kebangkrutan.
 
Seorang Muslim hendaknya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Ia tidak boleh menunda-nunda kesempatan melakukan amal kebaikan.
 
Diriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar pernah berkata; "Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari. Dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu." (HR. Al-Bukhariy no.6416)
 
Ibnu Qoyyim berkata: ”Ada 4 hal yang dapat merusak hati, yaitu berlebihan dalam berbicara, berlebihan makan, berlebihan tidur, dan berlebihan dalam bergaul.” (Al-fawaid hal 262).
 
Beliau juga berkata: ”Pintu taufiq tertutup bagi seseorang karena melakukan 6 perkara, yaitu (1) meninggalkan syukur kepada Allah dengan menggunakan karunia bukan pada jalan-Nya, (2) gemar terhadap ilmu namun tidak mau mengamalkannya, (3) menunda-nunda taubat, (4) berteman dengan orang sholih tapi tidak mau meneladani mereka, (5) mengejar-ngejar dunia padahal dunia akan meninggalkannya, (6) berpaling dari akhirat padahal akhirat akan mendatanginya.” (Al-Fawaid)
 
Ucapan Salaful ummah tentang waktu
 
Muhammad bin Abdul Baqi’ (535 H) mengatakan: ”Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktu yang pernah berlalu dari umurku untuk main-main dan berbuat sia-sia.” (Siyar A’lamin Nubala’ XX/26)
 
Imam Hasan Al-bashri mengatakan: “Wahai anak cucu Adam, dirimu sebenarnya adalah hari-harimu yang kau alami, jika harimu berlalu maka berkuranglah sebagian hidupmu, sungguh aku pernah bertemu dengan suatu kaum, mereka lebih mengutamakan, mencintai dan menghargai waktu melebihi dari apa yang kau lakukan terhadap dinar dan dirham.”
 
Ibnu Mas’ud berkata: “Aku tidak pernah menyesal atas hari yang berlalu, kecuali ketika matahari terbenam dan usiaku berkurang, tetapi ilmuku tidak bertambah di hari itu.”
 
Al-Kholil bin Ahmad (160H) mengatakan; “Waktu itu ada tiga bagian, waktu yang sudah berlalu darimu dan tak akan kembali, waktu sekarang yang sedang kau alami dan ia juga akan berlalu darimu, dan waktu yang engkau tunggu yang bisa jadi engkau tidak bakal mendapatkannya.” (Thobaqotul hanaabilah hal.35-36)
 
Kisah Dawud bin Abi Hindun (139 H) adalah di antara contoh yang mengagumkan. Beliau  berkata: “Ketika kecil aku berkeliling pasar. Ketika pulang kuusahakan diriku untuk selalu berdzikir kepada Allah ta’ala hingga tempat tertentu. Jika telah sampai kuusahakan lagi dariku untuk berdzikir kepada Allah hingga tempat selanjutnya…hingga sampai di rumah. Tujuannya agar kugunakan waktu dalam umurku.” (Siyar A’lamin Nubala’ VI/378)
 
Ibnu Rojab Al-hambali berkata: “Seorang pelajar hendaknya seorang yang cepat dalam berjalan, menulis, membaca ketika makan.” (Thobaqot Al-hanabilah). Terbiasa cepat dalam berjalan maka akan sehat di waktu tuanya, cepat membaca maka akan menghemat waktu belajarnya, sekaligus lebih banyak mendapatkan ilmu.
 
Contoh Salaful ummah menggunakan waktu
 
Di dalam perjalanan para ulama’ terdahulu terdapat banyak contoh yang mencengangkan bagaimana mereka menggunakan umurnya yang mampu mendorong kita agar benar-benar menjaga detik-detik ini. Para pendahulu kita dengan keterbatasan dana, teknologi, tidak ada listrik, printer, dan sejenisnya, namun amal mereka tak mampu ditandingi oleh manusia sekarang. Mereka menghabiskan waktu mereka untuk berjuang di jalan Allah, menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, melakukan amalan sunnah, berdzikir, bertasbih, beristighfar, mengajar, dan amal-amal ketaatan lainnya.
 
Abu Bakar Al-Baqilani pernah tidak tidur sebelum menulis sebanyak 35 halaman dari hafalannya. Abu Nashr Al-Farabi tinggal di Damaskus dekat taman dan kolam air. Di sinilah beliau pergunakan untuk menulis kitab-kitabnya. Imam Abu Yusuf sahabat Imam Abu hanifah menjelang detik-detik kematiannya masih sempat membahas masalah fiqh. 
 
Seorang murid dari Al Alusi Al-hafidh, Bahjah Al-Atsari berkata: “Saya teringat bahwa saya tidak datang belajar pada suatu hari karena hujan dan angin kencang. Kami kira Al-Alusi tidak datang mengajar. Keesokan harinya beliau berkata: “Tidak ada kebaikan bagi orang yang terpengaruh oleh panas dan hujan untuk tidak belajar”. 
 
Di antara sikap yang menakjubkan dalam menghargai waktu adalah Ibnu Taimiyah (590 H). Beliau tidak pernah membiarkan waktu berlalu tanpa mengajar, menulis, dan ibadah lainnya. Pada waktu masuk kamar kecil pun beliau meminta seseorang untuk membacakan kitab kepadanya dari luar.
 
Ibnu Rojab berkata: “Hal ini menunjukkan betapa kuat dan tingginya kecintaan beliau untuk mendapatkan ilmu dan memanfaatkan waktu”. Murid beliau, Ibnu Qoyyim menyebutkan bahwa beliau di saat sakitpun masih sempat membaca dan menelaah ilmu. (Roudhotut Tholibin)
 
Daud At-Tho’i diriwayatkan membaca lima puluh ayat ketika makan roti. Seorang bijak mengatakan;Waktu adalah pedang, jika engkau tidak menggunakannya maka ia akan memotongmu. Bila engkau tidak menggunakan waktu yang ada, maka engkau akan celaka layaknya seseorang yang terkena sabetan pedang. Jika kamu tidak menggunakannya dalam kebaikan maka engkau akan dirusak di dalamnya.” (Bahjatus-nufus, Ibnu Abi Jamroh 3/96).
 
Sarri As-Saqoti ketika didatangi dan dikerumuni oleh orang-orang yang tidak memiliki kepentingan dan hanya berbasa-basi saja, maka dikatakan mereka: “Anda telah dikerumuni oleh orang-orang yang tidak punya tindakan, jika orang yang didatangi lemah maka mereka akan duduk berlama-lama dan akibatnya kerugian waktupun tak terhindarkan. Padahal kalian punya kewajiban-kewajiban yang banyak”.
 
Imam Amir bin Qois kedatangan seseorang dan mengajaknya untuk duduk-duduk saja, maka dikatakan kepadanya: “Saya akan berbicara denganmu namun tolonglah hentikan matahari terlebih dahulu”
 
Umur yang sia-sia
 
Banyak waktu terbuang dengan sia-sia. Ini adalah tanda utama orang-orang yang dianggap merugi. Hilangnya waktu, juga menyebabkan hilangnya umur secara sia-siapa. Beberapa hal di antara kesia-siaan itu adalah banyak berkunjung dan berkumpul namun tidak untuk menambah ilmu. Duduk-duduk hanya untuk berbasa-basi, berlebih-lebihan dalam bergaul, banyak bercanda dan tertawa, banyak jalan-jalan, banyak bicara lebih dari keperluan, minum kopi 1 gelas sampai berjam-jam, meng-ghibah dan bersantai-santai membuang usia sehingga terlepaslah darinya manfaat yang banyak.
 
Di antara menyia-nyiakan umur pula adalah sibuk dengan sesuatu yang tidak penting. Berasyik-ria dengan kegiatan yang remeh temeh. Seperti main catur, domino, menonton TV, baca desas-desus berita koran, nonton berita ghibah, SMS  atau bicara di HP dengan sesuatu yang tidak penting. Sehingga banyak ketinggalan ilmu yang seharusnya ia miliki.
 
Imam Syafi’i pernah ditanya, “Bagaimana keinginan Anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab: “Ibarat seorang ibu yang kehilangan anak tunggalnya dan ia tidak memiliki anak kecuali anak tersebut.” (Adabus-Syafi’I wanaqibuh, Ar-Rozi, dinukil dari Ma’aalim fit-thoriqi thlabil ‘ilmi hal.41).
 
Bandingkanlah pemandangan antara Imam Syafi’I yang haus ilmu dengan orang-orang sekarang. Di kantor ia banyak ngobrol, meski banyak orang sedang membutuhkannya. Di rumah ia hanya nonton TV padahal banyak waktu bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Bahkan nongkrong malam hari hanya untuk mengejak kesia-siaan.
 
Waktu lewat begitu saja dengan kelebihan jam tidur, banyak makan, banyak berleha-leha dan santai. Sehingga yang timbul justru panjang angan-angan, menunda-nunda pekerjaan, menunda taubat. Terutama antara adzan dan iqomah tidak digunakan untuk berdo’a, atau berdzikir, membaca al-Qur’an, mengulang hafalan, muhasabah, muroja’ah dan sebagainya.
 
Dalam kenyataan, kita saksikan manusia menggunakan umurnya dengan sesuatu yang aneh, membaca buku yang sama sekali tidak berguna, menyaksikan hiburan yang sungguh sia-sia, lawakan, berlama-lama istirahat, berhura-hura ke tempat keramaian dan sebagainya. Lebih aneh lagi kita sendiri menganggap aneh melihat seseorang yang mempersiapkan amal untuk perjalannya yang panjang, berpacu dengan cepatnya putaran waktu.
 
Imam Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaknya seseorang membagi waktu malam dan siangnya, memanfaatkan sisa umur karena umur yang tersisa tidak ada bandingannya.”
 
Akhirul kalam, biasakanlah bertanya pada diri sendiri. Apa yang telah kita lakukan di waktu-waktu sehat dan luang kita? Apakah digunakan untuk tujuan kesehatan, kemanfaatan ilmu, untuk ibadah, atau hanya terbuang secara percuma?
 
Jika hanya kesia-siaan belakan, sepatutnya kita memohon kepada Allah agar mengasihi kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang mampu mengisi usia ini sebagus-bagusnya. Amiin. [Abu Hasan Husain/hidayatullah.com]

Virus Takastur dan Tanda Hilangnya Rahmat

Menurut Imam Al Ghozali jika virus ruhani tersebut hinggap pada diri seseorang, maka akan melahirkan beberapa penyakit jiwa
 
Oleh: Sholih Hasyim*
 
ADA orangtua yang tinggal di sebuah pelosok desa sebagai petani dan penjual sate, bekerja keras tak kenal lelah, membanting tulang mencari nafkah. Ketika kembali pulang ke rumah, ia disambut oleh istri dan kedua anaknya dengan senyum yang tersungging di bibir. Maka seketika ia merasakan bahagia, kepenatan yang dirasakan sepanjang hari menjadi hilang dengan cepatnya.
 
Ada orangtua yang menangis karena gembira demi melihat puteranya dilantik menjadi profesor termuda di salah satu perguruan tinggi terkenal di Jawa Timur. Selesai menerima penghargaan dari almamaternya, bapak tersebut tidak mampu menahan isak tangis di belakang kursi wisuda. Betapa pengorbanan yang selama ini dilakukan untuk keberhasilan anaknya tidaklah sia-sia. Ia melupakan penderitaan selama bertahun-tahun demi masa depan buah hatinya. Itulah 1/100 rahmat yang dikaruniakan oleh Allah kepada sang bapak. Rela berkorban tanpa mengharapkan imbalan sedikitpun, yang penting anaknya sukses.
 
Ada pula cerita. Serombongan gajah mencari lokasi lain untuk mempertahankan kehidupan. Diantara mereka, salah satu induk gajah melahirkan anaknya dengan kaki cacat sebelah. Sementara gajah yang lain terus melaju, seolah-olah tak peduli dengan penderitaan kawannya. Gajah itu sendirian dikerumuni binatang buas yang siap menerkam bayi gajah. Ia akhirnya meninggalkan anak yang baru saja dilahirkan, untuk menghindari ancaman binatang buas. Baru beberapa langkah menyusul rombongan, namun hatinya tidak tega membiarkan anaknya sendirian. Ia kembali mengelus-elus anaknya di tengah-tengah bahaya. Sehingga bisa berjalan dan diajak menyusul rombongannya. Induk gajah itu berani menghadapi ancaman, karena instingkasih sayang terhadap anaknya.
 
***
 
Jika kita mencermati kehidupan bangsa kita sekarang, seringkali melihat manusia itu tidak konsisten dalam memelihara rahmat yang diberikan oleh Allah kepadanya, berbeda jauh dengan hewan. Informasi anarki, kekerasan politik, pembunuhan, pemerkosaan, persaingan yang tidak sehat antar kelompok, pertentangan antar etnis dan elit politik serta berbagai kriminalitas lainnya menghiasi media cetak dan elektronik setiap hari.
 
Barangkali kita tidak heran bahwasanya akhir-akhir ini mendengar orangtua memperkosa anak tirinya, suami yang tega mencari wanita idaman lain di tempat kerjanya pada saat yang bersamaan keluarganya sedang menunggu kehadirannya di rumah dengan harap-harap cemas. Seorang istri tega berbuat serong bersama pria idaman lain yang kebetulan sebagai atasannya. Seorang wanita tega membuang anaknya yang baru saja dilahirkan. Karena hasil hubungan gelap dengan laki-laki lain.
 
Dimanakah gerangan 1/100 rahmat yang diturunkan Tuhan kepadanya? Apakah sifat itu sudah dicabut oleh-Nya?
 
Ada ribuan pertanyaan. Persis dengan berbagai masalah, gejolak dan problem bangsa kita. Mengapa bangsa Indonesia yang dikenal murah senyum, pemaaf, sopan, rukun agawe santoso, tepo sliro, paternalistik, tahan menderita, tiba-tiba menjadi bringas dan kejam?
 
Efek Virus Takastur
 
Dr. Yusuf Ali dalam tafsir “The Holy Qur’an”, mengatakan, bahwasanya penyebab hilangnya sifat rahmat pada diri manusia karena telah dihinggapi penyakit ruhani (mental) bernama takatsur (usaha menumpuk-numpuk harta, mengejar jabatan, memperbanyak pengaruh, massa dll).
 
Menurut Imam Al Ghozali jika virus ruhani tersebut hinggap pada diri seseorang, maka akan melahirkan beberapa penyakit jiwa. Di bawah ini adalah tanda-tanda dari penyakit itu.
 
Serakah  
 
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?". Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (QS. Thoha (20) : 120-121 ).
 
Pohon itu dinamakan Syajaratulkhuldi (pohon kekekalan), karena menurut syaitan, orang yang memakan buahnya akan kekal, tidak akan mati. Pohon ini dilarang Allah bagi yang mendekatinya.  Ada yang menamakan pohon khuldi sebagaimana tersebut dalam surat Thaha ayat 120, tapi itu adalah nama yang diberikan syaitan.
 
Apa yang dilakukan Adam dan Hawa itu adalah sebuah tindakan serakah dan durhaka. Karena lupa,  ia telah melanggar larangan Allah. Ia juga telah tersesat mengikuti apa yang dibisikkan syaitan. Kesalahan Adam a.s. meskipun tidak begitu besar menurut ukuran manusia biasa sudah dinamai durhaka dan sesat.
 
Dengki (Hasud) 
 
Dengki adalah rojaa-u zawaali ni’mati al-ghoir (senantiasa berharap hilangnya nikmat pada diri orang lain). Dalam sejarah kehidupan manusia sifat buruk inilah yang menjadi penyebab pembunuhan pertama kali di dunia. Dilakukan putra seorang Nabi yang bernama Qobil dan Habil. Habil meninggal di tangan kakak kandungnya hanya karena persoalan wanita. Wajar jika Rasulullah mengingatkan kepada kita bahwa sifat hasud tidak sekedar mencukur rambut bahkan mencukur sendi-sendi agama. Beliau juga mengingatkan:
 
“ Jauhilah oleh kalian sifat dengki, karena sesungguhnya dengki akan membakar seluruh kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.“ (al Hadist). Ummat ini akan menjadi baik selama tidak berkembang sifat dengki.
 
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang Sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (QS. Al Maidah (5) : 27).
 
Takabur (Sombong)
 
Menurut Imam Al Ghozali puncak keruntuhan kepercayaan adalah syirik (menyekutukan Allah) dan puncak kerusakan akhlak adalah takabur. Takabur adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain (bathrul haq wa ghomthun Nas). Sifat warisan iblis inilah yang menjadikan anak manusia tidak pandai melihat kekurangan dirinya sendiri (intropeksi), tetapi lebih senang melihat kekurangan orang lain. Semua orang memiliki kans untuk bersikap sombong dalam profesi apapun.
 
Pernah suatu kali,  ada peristiwa pertentangan antara pemulung di Surabaya. Awalnya hanya sebatas pertarungan mulut, kemudian berkembang menjadi adu fiisik. Salah seorang lawannya ada yang mengancam, “Kamu harus berani mengambil resiko akibat peristiwa yang memalukan ini, tidakkah kamu mengetahui bahwa sayalah yang merintis profesi sebagai pemulung di sini?.
 
Betapa jelas, bahwa pekerjaan sebagai pemulung saja bisa membanggakan asal usul dan rasa sombong. Apalagi pekerjaan yang lebih bergengsi dari itu.
 
“Dan (Ingatlah) ketika kami Berkata kepada malaikat : "Sujudlah kamu kepada Adam", Maka mereka sujud kecuali iblis. ia membangkang. “(QS. Thoha (20) : 116).
 
Allah sangat membenci kesombongan. Karena pada dasarnya manusia itu tempat salah dan lupa (al insanu mahalil khothoi wa an nisyan). Sekalipun manusia memiliki potensi yang baik tetapi dibatasi oleh berbagai kekurangan. Kesempurnaan hanyalah milik Allah. Allah tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga seorang yang dalam dirinya masih tersimpan sifat sombong sekalipun sedikit.
 
Dendam
 
Sifat ini sangat berbahaya baik secara individu maupun kelompok/kehidupan sosial. Karena sifat ini akan mendorong seseorang untuk menjatuhkan orang lain yang berbeda dengannya. Ia ingin melihat orang yang menjadi lawan politiknya celaka. Ia akan berusaha agar tidak ada orang lain yang menyainginya, baik dalam aspek jabatan, kekayaan, pengaruh, ilmu dll. Ia gembira jika melihat orang lain bernasib buruk, jatuh agar posisinya tetap eksis dan diakui orang lain. Rasulullah mengingatkan kepada kita agar senantiasa waspada terhadap penyakit jiwa ini. Sebab penyakit ini akan mudah merusak pergaulan hidup. Sabda beliau: “Sekuat apapun seseorang, sebuah perkumpulan, sebuah negara akan hancur, jika dendam ini menjalar. “
 
Jika kita mencermati carut marutnya kehidupan manusia dari masa ke masa pokok pangkalnya adalah efek ketiga penyakit jiwa tersebut. Yaitu: serakah, dengki, sombong dan dendam. Usaha yang terpenting dalam mengatasi gejolak sosial lanjut beliau, masing-masing individu dari anak bangsa ini mengembangkan tiga sifat berikut : Pertama, maafkanlah orang yang pernah berbuat zalim kepadamu (wa’fu man zhalamaka). Kedua, berilah kepada orang yang pernah menghalangi pemberian kepadamu (wa’thi man haromaka). Ketiga, sambunglah orang yang pernah memutuskan hubungan kepadamu (wa shil man qotho’aka).
 
Jika sikap senantiasa memberi kepada siapa saja, apapun bentuknya pemberian itu, baik berupa materi dan immateri, menjalin silaturahim dan menyebarkan pintu maaf maka rahmat Allah akan senantiasa meliputi kehidupan mereka.
Resep Memelihara Titipan Rahmat
 
Dalam al-Quran Surat At-Takastur Allah SWT memberikan resep yang sangat jitu untuk merawat titipan rahmat dari-Nya.
 
Pertama, ziarah Kubur
 
Dengan ziarah kubur (rekreasi rohani) seseorang diingatkan tentang hakikat kesementaraan kehidupan. Apa saja yang menjadi kebanggaan kita di dunia, kekuasaan, harta, wanita, pengaruh, ilmu akan berakhir. Saudara yang menjadi kepercayaan kita bisa saja akan berkhianat. Sahabat karib yang kemarin menjadi mitra bergaul dan dialog ternyata menjadi seonggok mayat yang dibungkus kain kafan. 
 
KH. A. Gimnastyar pernah mengingatkan dalam kuliah shubuhnya di RCTI, presiden Amerika lalu George W. Bush yang memimpin perang terhadap teroris, dan diindentikkan dengan kaum muslimin. Beliau mengatakan : Wahai presiden jangan berlagak sombong, apakah anda tidak menyadari bahwa kekuasaan yang sedang anda pegang tidak kuasa menolak kematian anda.
 
Rasulullah Saw. bersabda: “Aku pernah melarang kalian ziarah kubur, sekarang berziaralah karena ia mengingatkanmu tentang kehidupan akhirat.” (Al Hadits)
 
Kedua, mempelajari Ilmu Fardhu ‘Ain (Syariat)
 
Berbicara syariat kita jangan salah dalam memahaminya. Dalam islam syariat adalah ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya untuk kita. Didalamnya terkandung ibadah, aqidah dan akhlaq. Jadi tidak ada dichotomi antara syariat dan hakikat sebagaimana yang dipahami oleh kaum sufi.
 
Dengan ilmu syariat disamping mencerdaskan pikiran kita, sekaligus menata batin kita. Kecerdasan ruhaniah menghantarkan seseorang terampil dalam menarik hikmah di balik peristiwa kehidupan. Sehingga dia mampu bersikap arif dan bijaksana. Ahli hikmah mengatakan : Dunia adalah ladangnya ilmu (Ad Dunya Mazro’atul ilmi). Rangkaian kejadian dan fluktuasinya yang melibatkan kepentingan individu, kolektif akan menjadi bahan renungan, ilmu dan pengalaman. Pengalaman adalah guru yang terbaik.
 
Jika ketiga resep yang diberikan oleh al-Qur’an diatas kita laksanakan dengan baik, insya Allah gejala anarki, pembunuhan, pertentangan antar elite dan berbagai gejolak sosial yang lain akan segera berakhir. Insya Allah.
 
“Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), Dan janganlah begitu, kelak kamu akan Mengetahui, Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.” (QS. At-Takatsur (102) : 3-5).
 
Ketiga, meningkatkan Rasa Tanggungjawab
 
Apapun yang dilakukan seseorang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, kelak di kemudian hari. Apakah masa muda yang dimiliki dimanfaatkan untuk pengabdian, untuk apakah umur yang telah dihabiskan, ilmu yang dimilikinya sudahkah disumbangkan kepada yang memerlukan, harta yang dinikmati dari mana diperolehnya dan apakah telah diinfakkan. Semua pertanyaan-pertanyaan tersebut akan kita jawab di akhirat kelak. Sudahkah kita mempersiapkan diri untuk menjawab berbagai pertanyaan diatas dengan jujur dan tanggung jawab?
 
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur (102) : 8).
 
Kata Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin: Perbuatan ma’siat lahir yang harus dijauhi, yaitu yang dilakukan oleh anggota badan, mulut, kedua tangan, kedua kaki, kedua mata, kedua telinga.
 
Semua anggota badan (yang merupakan karunia Allah SWT secara gratis) akan dipertanggung jawabkan di hadapan-Nya kelak.
 
Tujuh macam kejahatan yang dilakukan oleh tujuh anggota badan itu adalah : Mata, Telinga, Lidah, Perut, Kemaluan, Tangan Dan kaki

Konon, karena itulah Allah SWT menjadikan tujuh macam neraka. Untuk tempat penyiksaan mereka yang melakukan kejahatan dengan salah satu anggota tubuh tersebut. Agar anggota tubuh sebagai media untuk menggapai kebahagiaan kehidupan dunia dan menyelamatkan kita di akhirat, maka harus disyukuri dengan cara digunakan untuk menyenangkan Yang Maha Memberikan.
 
Mata digunakan untuk melihat yang baik dan indah, jangan melihat yang haram. Telinga dipakai untuk mendengar bacaan al-Quran dan As-Sunnah, tidak untuk mendengarkan yang tercela, seperti ghibah, mengumpat dan menimbulkan fitnah, lidah untuk berzikir dan amar ma’ruf nahi mungkar, tidak untuk menghasut, berdusta yang mengantarkan kepada kehancuran. Menjaga perut dengan diisi makanan halal, kemaluan (faraj) disterilkan dari zina, tangan dijauhkan dari membunuh, memukul, mencuri, memegang sesuatu yang haram, kaki hanya digunakan untuk mengerjakan ibadat. Tidak dibawa menuju ke tempat ma’siat. Demikianlah pendidikan akhlak versi Al-Ghazali.
 
Karena pada dasarnya anggota tubuh dijadikan oleh Allah SWT sebagai nikmat dan amanat. Mengelola nikmat dan amanat dengan di salah gunakan, merupakan kejahatan yang terbesar. Manusia harus menggunakan dan mengambil manfaat anggota tubuh untuk patuh kepada Allah SWT. [Kudus, Oktober 2010]
 

Menghindari Kesalahan Memotivasi

Kalau boleh, saya ingin mengatakan bahwa setiap ibu mendambakan anak-anaknya menjadi manusia yang berguna sesuai harapan orangtua.

Naluri setiap ibu menyayangi dan mendidik anak-anaknya agar kelak tidak saja berhasil bagi dirinya sendiri, tetapi sekaligus membahagiakan orangtua, tetangga dan masyarakat.

Keberhasilan anak dalam meniti hidupnya adalah keberhasilan orangtua, terutama ibu. Karena perjalanan anak banyak ditentukan oleh pendidikan yang diberikan oleh ibu selama masa-masa perkembangan.

Didorong oleh rasa sayangnya kepada anak, seorang ibu banyak tampil memotivasi anak. Tindakan ini bagus. Anak yang berhasil, seringkali lahir justru bukan dari banyaknya fasilitas yang dimiliki. Lebih penting dari itu, motivasi tinggilah yang banyak memberi sumbangan pada semangat anak demi berusaha dan menyikapi “kesulitan-kesulitan“ yang dialami.

Tetapi…

Ada tetapinya!


Keinginan ibu untuk memotivasi anak tidak jarang menghadapi benturan karena kesalahan-kesalahan “kecil”. Tindakan memotivasi justru menjadi bumerang. Alhasil, kemauan berprestasi anak malah lemah dan prestasinya rendah.

Ada beberapa kesalahan yang sering dilakukan ketika memotivasi anak, yaitu:

1. Membuat Anak Merasa Bersalah

Sebagian ibu menganggap bahwa dengan menimbulkan rasa bersalah, anak akan terpacu untuk memperbaiki diri. Anak akan bersemangat untuk meraih apa yang diharapkan oleh orangtua. Tetapi kenyataannya seringkali justru sebaliknya. Anak menjadi rendah diri. Tidak mempunyai percaya diri. Dalam jangka panjang, ini melemahkan kemampuan anak dalam menyesuaikan diri maupun dalam mengembangkan kecakapan intelektual dan keterampilan kerja.

 “Motivasi” yang justru menimbulkan rasa bersalah pada anak, misalnya, “Kamu sayang sama Mama, nggak? Sayang, nggak?”

 “Sayang, Ma,” kata Reza. Selebihnya Reza hanya diam.

 “Makanya, kalau sayang sama Mama, belajar yang baik,” kata Mama.

Rasa bersalah juga muncul ketika ibu mengatakan, “Ibu tiap hari kerja keras untuk kamu. Kalau kamu kasihan sama Ibu, kamu harus belajar. Kamu harus mendapat ranking satu. Lihat itu, Bapak tiap hari pulang sore. Cari duit itu sulit.”

2. Menjadikan Anak Merasa Anda Tidak Menganggapnya Cukup Pandai

Dody pulang sekolah. Begitu tiba, ibu langsung menanyai tentang pelajaran apa yang diterimanya tadi. Tak lupa menanyakan ulangan.

Ini dia awal kesulitan Dody. Hari itu ada ulangan Matematika. Dia mendapat nilai 7.

Sebenarnya nilai yang bagus untuk Matematika. Tapi Dody tahu, kalau mengatakan yang sebenarnya, ia akan menghadapi risiko diomeli ibu. Tapi kalau berbohong, Dody ingat itu mendatangkan dosa.

Akhirnya Dody menunjukkan kertas hasil ulangan. Seperti diduga, ibunya segera berkomentar, “Aduh Dody. Masak berhitung begini kamu nggak bisa sih? Ini kan mudah, toh! Coba lihat itu Mas Iwan, pintar dia.”

Dody kecewa. Ia sudah mendapat nilai lebih tinggi dari kebanyakan temannya, tapi tetap tidak mendapatkan penghargaan dari orangtua. Ibu menganggapnya tidak cukup pandai.

Mental anak sangat terpukul. Ungkapan ibu semacam ini dapat menimbulkan rasa tidak percaya diri. Pada gilirannya, anak mudah merasa putus asa.

Anak juga merasa dirinya bodoh. Karena merasa bodoh, ia cenderung tidak mau belajar. Ia banyak melakukan hal-hal yang kurang meningkatkan kecerdasan. Sehingga, akhirnya ia mendapati benar-benar bodoh di sekolah. Inilah yang disebut self-fulfiling prophecy (nubuwah yang dipenuhi sendiri).

Memotivasi dengan bentuk-bentuk ungkapan semacam itu justru bisa membodohkan anak. Ungkapan yang dimaksudkan oleh ibu untuk membangkitkan potensi anak, sebenarnya justru merusak potensi yang besar.

Seharusnya, ibu tetap menunjukkan kehangatan. Bahkan ketika anak mendapat nilai jelek pun, ibu perlu memberikan kehangatan dan penerimaan. Sikap yang demikian akan menimbulkan rasa aman dan perasaan diterima pada diri anak, sehigga ia akan bersemangat untuk mencapai yang lebih di saat berikutnya tanpa perasaan tertekan dan terbebani.

Sementara kalau anak mencapai prestasi yang memuaskan, seperti yang dicapai oleh Dody misalnya, ibu perlu menunjukkan sikap menghargai. Ibu memberikan penghargaan dan pujian yang memadai. Tidak berlebihan, tetapi juga tidak terlalu kikir memuji.

3. Menghancurkan Harga Diri Anak

Anda sangat tidak menyukai kalau keburukan Anda atau hal-hal yang Anda anggap sebagai wilayah pribadi diungkapkan kepada orang lain. Apalagi jika yang mengungkapkan rahasia pribadi Anda itu adalah orang yang paling dekat, suami, misalnya. Rasanya sakit sekali. Ada kekecewaan bercampur amarah. Ada perasaan malu yang amat sangat bercampur dengan kejengkelan.

Kalau Anda saja merasa demikian, apalagi anak Anda yang masih belum memiliki integritas diri yang kukuh? Tapi ada kalanya orangtua menghancurkan harga diri anak dengan maksud menumbuhkan semangat pada diri anak untuk mencapai prestasi terbaik.

 “Pokoknya kalau Andi tidak bisa mendapat nilai yang baik, Mama akan cerita sama Ita. Kalau Andi nggak ingin Mama cerita, Andi harus memperbaiki prestasi.”

Atau, “Sudah, kalau Tony nakal terus, nanti Mama bilang sama Papa.”

Ungkapan-ungkapan seperti itu sangat mengganggu harga diri anak. Tetapi yang lebih menghancurkan harga diri adalah kalau ibu benar-benar menceritakan kepada orang lain. Ini yang kadang secara tidak sadar dilakukan oleh ibu. Misalnya ketika ada teman sedang menceritakan anaknya melalui telepon, dengan maksud mengimbangi maupun basa-basi, kadang ibu tanpa sadar menghancurkan diri anak.

 “Aduh, Bu. Sama dengan anak saya. Yang nomor tiga itu, Si Pras, itu, aduh… malas sekali kalau disuruh belajar. Sampai jengkel saya kalau menyuruh dia!”

Sikap ibu ini dapat menjadikan dawdling, yaitu sikap negatif anak dengan tidak mau melakukan apa yang diperintahkan orangtua dengan harapan orangtuanya marah. Kalau orangtua marah, ia memperoleh kepuasan (baca Suara Hidayatullah edisi Juni 2007). Pada saat ini, ia mengungkapkan kejengkelannya pada orangtua.

4. Membuat Anak Defensif


Situasi yang memojokkan membuat seseorang harus bersikap bertahan (defensif), tidak menuruti kemauan pihak yang menghendaki berubah. Jika sangat terpaksa, ia akan menurut. Tetapi hanya asal tidak mendapat tekanan. Asal tidak dimarahi. Atau, ia menjadi apatis.

Ibu kadang memotivasi anak dengan cara memojokkan, misalnya, “Kamu pasti nggak sayang sama Mama. Kalau kamu sayang sama Mama, kamu nggak akan malas. Ayo, sekarang belajar.”

5. Mendorong Anak Balas Dendam

Saya pikir, tidak ada orangtua yang menginginkan anaknya balas dendam. Tetapi ternyata, ada pola-pola komunikasi yang cenderung membuat anak terdorong untuk balas dendam. Misalnya, “Pokoknya kamu harus les Matematika. Ibu nggak mau mempunyai anak yang tidak pandai Matematika. Kalau Bahasa Indonesia , mudah dipelajari. Semua orang bisa menguasai.”

 “Tapi, Deka pingin belajar karate, Ma.”

 “Nggak. Pokoknya kamu harus les Matematika. Kamu boleh belajar karate, tapi nanti, kalau kamu sudah pandai Matematika,” tegas ibu keras.

Sebenarnya sikap tegas sangat perlu ditegakkan dalam keluarga. Tetapi ketegasan harus berlandaskan aturan yang jelas dan dipahami anak. Ketegasan harus selaras dengan sikap menghargai inisiatif anak.

Seorang ibu bisa mengajukan alternatif sebagai hal yang harus dipilih oleh anak. Tapi ibu harus mendapat menjamin bahwa anak memahami dan menerima penjelasan yang dikemukakan oleh ibu. Lebih dari itu, ibu harus memperhatikan apakah kehendak ibu tidak justru mematikan potensi anak yang sebenarnya sangat besar dan brilian. Inilah!

Karena itu, sikap terbuka dan mau mendengarkan anak, sangat penting untuk dimiliki ibu. Sebaiknya ibu lebih banyak mendampingi dan memberikan kehangatan sehingga anak memiliki percaya diri dan harga diri yang baik.

Ini akan lebih berharga bagi anak. Prestasi anak dapat lebih dipacu, sekalipun kelak anak jauh dari orangtua.

Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Pemerhati: Bangun Karakter Bangsa dari Keluarga Sakinah

Dalam ranah keluarga, peran ayah dan ibu sangatlah penting dalam memberikan pendidikan karakter dan moral pada anak-anaknya.

Hidayatullah.com--Sedikitnya 9.060 warga Jakarta yang mengidap penyakit kelamin yang ditularkan dari hubungan seksual, mengundang keprihatinan banyak kalangan. Fenomena krusial ini berawal dari pendidikan karakter dalam keluarga yang tidak terbangun dengan baik.

Peran keluarga sangat penting untuk memastikan keterpenuhan kebutuhan anak pada pembinaan yang berkelanjutan. Dalam lingkup ini, peran lembaga negara juga dinilai tidak sedikit.

"Setidaknya ada 2 pemeran penting dalam proses ini, yaitu lembaga dan keluarga," kata Kasubdit Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Depag Najib Anwar saat berbincang dengan Hidayatullah.com, Rabu (20/10).

Najib menjelaskan, peran lembaga negara dalam hal ini adalah berusaha memajukan keluarga sebagai pilar kelangsungan memberdayakan dan membangun karakter bangsa.

Sedangkan dalam ranah keluarga, peran ayah dan ibu sangatlah penting dalam memberikan pendidikan karakter dan moral pada anak-anaknya.

Selain itu, Najib juga prihatin dengan semakin merebaknya peredaran berbagai macam video porno yang tidak sedikit diperankan usia anak-anak atau remaja.

Najib menilai, masalah-masalah pergaulan bebas tersebut terjadi karena banyak faktor. Dari beberapa sebab, Najib menyebutkan 2 faktor yang paling sering  muncul, adalah masalah moral dan desakan ekonomi.

Kasubdit Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI selama ini, urai Najib, telah melakukan berbagai upaya penanggulangan untuk menangani alpa moral ini, termasuk memberikan pendidikan dan pembekalan pada keluarga dalam melakukan pembinaan karakter.

"Kemenang melalui Kasubdit ini (Keluarga Sakinah, red) rutin melakukan sosialisasi pentingnya membangun keluarga sakinah," kata Najib.

Saat ini kata Najib sudah lebih dari 10 ribu penyuluh agama disebar oleh Kemenag di 33 provinsi di Indonesia untuk menyukseskan program ini. 

Kasubdit di Kemenag yang baru dirintis pada tahun 2004 ini, jelas Najib, adalah dalam upaya melanjutkan program yang telah dicanangkan dari awal oleh Presiden ke-3 RI BJ Habibie pada tahun 1999, yang mencetuskan Gerakan Nasional Keluarga Sakinah.

Najib berharap, untuk keberlanjutan program keluarga sakinah ini, maka setidaknya masyarakat harus memahami bahwa ada 3 elemen penting yang mesti dimengerti dan diterapkan dalam upaya membangun keluarga sakinah. Ketiga elemen itu, penerapan pendidikan agama dalam keluarga, dalam masyarakat, dan vitalisasi pendidikan agama pada pendidikan formal.

"Tidak kalah penting juga adalah memberikan pendidikan pranikah. Ini adalah fungsi dari Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pelayanan Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4)," tandas Najib. [ain/www.hidayatullah.com]

Agar Kita Selamat


dakwatuna.com – Semua manusia ingin keselamatan. Karenanya di mana-mana dipancang slogan “Safety is our Priority”. Dalam slogan lain kadang berbunyi ” Safety First”. Apapun semua ungkapan itu intinya sama, menyerukan keselamatan. Namun ingat bahwa hakikat keselamatan sebenarnya bukan selamat di dunia. Sebab dunia dirancang bukan untuk menjadi tempat selamanya. Karenanya, sehebat apapun manusia memproteksi dirinya, ujung-ujungnya ia pasti mati. Oleh karena itu setiap kita berbicara tentang keselamatan, sebenarnya itu maksudnya bukan sekadar selamat di dunia, tetapi juga di akhirat. Apa saja yang harus kita lakukan supaya kita selamat di dunia dan akhirat:

Pertama, Utamakan Allah
Allah Pencipta manusia dan pencipta segala makhluk di alam semesta. Dialah Pemilik langit dan bumi. Pun Dialah yang mengurus dan menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan manusia untuk bisa hidup di muka bumi. Lebih dari itu Dialah yang memiliki dunia dan akhirat. Semua manusia kelak akan kembali kepadaNya. Maka sungguh bahagia manusia yang selama hidup di dunia mematuhi aturanNya, di mana ia kelak setelah kembali kepadaNya, membawa amal-amal yang disukaiNya. Sebaliknya sungguh celaka manusia yang lalai. Diberi kesempatan hidup sekali malah disia-siakan. Segala kesempatan itu hanya diisi dengan dosa-dosa dan kesia-siaan. Bayangkan bagaimana penderitaan manusia semacam ini, di saat kelak menghadap Allah, dengan dosa-dosa dan perbuatan yang paling Allah benci.
Bayangkan jika Anda sedang menghadap bos Anda dengan membawa laporan kerja yang isinya kegiatan sia-sia atau merusak perusahaan. Padahal Anda telah mendapatkan fasilitas lengkap dari bos Anda. Namun semua fasilitas itu Anda gunakan bukan untuk melakukan tugas-tugas kantor Anda. Melainkan justru digunakan untuk merusak program perusahaan itu sendiri. Apa yang Anda bayangkan tentang ancaman yang akan ditimpakan bos Anda kepada Anda? Lalu bayangkan jika ini terjadi di hadapan Allah yang Mahatahu. Kalau kepada bos Anda, mungkin Anda masih bisa berbohong, tetapi kepada Allah, Anda tidak mungkin bisa berbasa-basi, atau bersembunyi atau berpura-pura.
Kedua, Contoh Rasulullah
Untuk mentaati Allah butuh contoh. Dan contoh terbaik adalah Rasulullah SAW. Karenanya predikat yang Allah berikan kepada Rasulullah adalah sebagai hamba. Dari kepribadian Rasulullah SAW minimal ada dua hal penting untuk kita tiru: (1) Tiru Cara Ibadahnya kepada Allah. (2) Tiru Akhlaqnya yang mulia. Dalam hal ibadah, Rasulullah SAW Sangat sungguh-sungguh. Maksudnya ibadah ritual. Setiap datang waktu shalat Rasulullah SAW segera ke masjid. Bahkan pernah suatu hari bersabda bahwa beliau akan membakar rumah seseorang yang tidak mau melaksanakan shalat di masjid. Tidak hanya shalat yang wajib, melainkan juga shalat-shalat sunnah. Bila Rasulullah SAW shalat malam, seringkali berdiri terlalu lama karena membaca surah yang panjang sampai bengkak kakinya. Lidahnya tidak pernah kering dari dzikir. Setiap hari selalu mengucapkan istighfar minimal tujuh puluh kali, dalam riwayat lain seratus kali. Tidak hanya shalat puasa juga demikian. Dalam banyak hadits, selalu kita temukan contoh-contoh puasa yang dilakukan Rasulullah SAW. Tidak saja puasa wajib melainkan juga puasa sunnah.
Adapun dalam segi akhlaq, Rasulullah SAW adalah contoh yang paling baik. Allah swt telah memuji akhlaqnya dalam surga Al Qalam:4 Allah berfirman: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.  Ini pujian bukan ucapan manusia. Seandainya yang mengucapkan manusia, mungkin kita bisa menyangkalnya, sebab boleh jadi pujian itu datang karena kepentingan tertentu atau ada tujuan-tujuan subjektif tersembunyi. Namun pujian itu datang dari Allah yang Maha objektif. Allah maha tahu. Maka tidak ada dalam pujian itu yang ditutup-tutupi. Itu pujian paling mewakili hakikat kepribadian Rasulullah SAW. Dan benar, bahwa Rasulullah SAW berakhlaq mulia. Bagi istrinya beliau adalah suami terbaik. Aisyah RA Menceritakan bahwa Rasulullah SAW tidak menyakiti istrinya, pun tidak pernah memukul benda. Kepada anak dan cucunya Rasulullah SAW adalah contoh ayah yang baik. Seringkali dikisahkan bahwa Rasulullah SAW selalu menyempatkan diri bermain dengan cucunya Hasan-Husein. Kepada sahabat-sahabatnya Rasulullah adalah guru sekaligus sahabat yang baik. Begitu hijrah ke Madinah, beliau segera bangun persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar. Kepada non Muslim Rasulullah SAW melindungi mereka, memberikan hak-hak mereka, tidak ada seorang pun yang dizhalimi, pun tidak satu tempat ibadah pun milik mereka yang dirusak apalagi dihancurkan.
Ketiga, Selamatkan Kemanusiaan
Islam diturunkan untuk keselamatan manusia. Tidak ada dalam ajaran Islam satu ayat atau satu hadits pun yang mengajarkan kezhaliman terhadap kemanusiaan. Dalam perang pun tuntunan Islam sangat jelas. Yang boleh dilawan hanya yang menyerang saja. Sementara anak-anak dan kaum wanita serta para rahib yang sedang beribadah tidak boleh disakiti apalagi dibunuh. Segala yang merusak kemanusiaan diharamkan. Khamer diharamkan karena merusak akal. Zina haram karena merusak nasab dan harga diri. Riba diharamkan karena merusak harta, dan di dalamnya ada kezhaliman dan seterusnya.
Ajaran ibadah ritual dalam Islam, semua bertujuan agar jiwa manusia hidup. Bahwa manusia tidak cukup hanya hidup dengan fisiknya saja. Manusia harus hidup fisik dan jiwanya. Karenanya Allah bekalkan iman. Maka sungguh tidak akan selamat manusia yang mati jiwanya. Inilah makna ayat: qad aflaha man zakkahaa wa qad khaaba mandassaahaa (QS 91:9-10). Perhatikan apa yang di alami manusia-manusia kafir. Mereka meronta-ronta jiwanya. Sekalipun segala kesenangan dunia dimudahkan tetapi mereka masih saja merasakan dalam dirinya ada sesuatu yang hilang. Karenanya mereka lari ke tempat-tempat maksiat. Itupun tidak cukup, mereka di saat yang sama harus mabuk, untuk menghindari ketercekaman jiwa. Namun semua itu bukan jawaban. Sebab jawabannya hanya iman yang jujur.
Lebih jauh, ajaran membantu fakir miskin, menyenangkan anak yatim, menjenguk orang sakit, membantu yang lemah, menghormati yang lebih tua, mengabdi kepada kedua orang tua, itu semua sangat tegas dalam Al Qur’an dan As sunnah. Maka seorang muslim tidak cukup hanya baik secara ibadah ritual melainkan lebih dari itu harus juga baik secara sosial. Tetapi maksudnya bukan seperti yang dikatakan sebagian orang: bahwa yang penting baik sosialnya kepada orang lain, sekalipun tidak patuh dalam ibadah ritualnya. Tidak, tidak demikian pengertian dalam hal ini. Islam mengajarkan keseimbangan: keseimbangan antara jasmani dan rohani, keseimbangan antara ritual dan sosial, pun keseimbangan antara dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishsawab.

Tafsir Surat An-Naas


Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Surat An-Nas ini Makkiyah menurut pendapat paling benar, terdiri dari 6 ayat. Ini merupakan ayat perlindungan yang kedua.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ﴿١﴾ مَلِكِ النَّاسِ ﴿٢﴾ إِلَٰهِ النَّاسِ ﴿٣﴾ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ ﴿٤﴾ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ ﴿٥﴾ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ﴿٦﴾
1.  Katakanlah, “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
2.  Raja manusia.
3.  Sembahan manusia.
4.  Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
5.  Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
6.  Dari (golongan) jin dan manusia.”
Mana Mufradat:
Arti Mufradat
1. Yang membisikkkan kata-kata jahat di dada manusia. 1.     الوسواس
2. Bentuk hiperbola dari kata Al-Khunus yang berarti kembali atau terlambat. Karena kalau ia diusir ia mundur dan kembali. 2.     الخناس
3. Makhluk tersembunyi, tidak ada yang mengetahuinya selain Penciptanya. 3.     من الجِنَّة
Syarah:
Katakan kepada mereka, “Aku berlindung kepada Allah agar menjagaku dari kejahatan makhluk yang berbisik kepadaku. Aku berlindung kepada Tuhan manusia yang mendidik dan mengambil sumpah kepada mereka di kala mereka kecil atau lemah. Allah telah menguasai urusan mereka dan Dialah Pemilik Manusia. Dia Ilah mereka dan mereka budak-Nya. Dia yang layak disembah, ditunduki, dan dituju. Sebab Dialah Allah Taala yang menciptakan manusia, menumbuhkembangkan mereka, serta menguasai urusan mereka. Karena Dialah tempat berlindung dan meminta pertolongan. Bernaung kepada-Nya dari kejahatan bisikan di dalam hati yang biasa menghiasi kejahatan dan menampakkan keburukan dengan bentuk kebaikan. Itulah bisikan yang kebanyakan mengajak kepada larangan, baik dari bangsa jin, makhluk yang tersembunyi, yang mereka itu anak-anak dan tentara iblis atau dari bangsa manusia seperti halnya teman-teman buruk.
Mudah-mudahan kita dipelihara Allah dari kejahatan setan jin dan setan manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan. Dia juga Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah sendiri telah mengajarkan kita bagaimana berlindung diri dari kejahatan lahir maupun batin.” Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Falaq

dakwatuna.com – Surat An-Falaq ini Makkiyah. Ada yang mengatakan Madaniyyah. Terdiri dari 5 ayat, dan merupakan salah satu dari dua ayat perlindungan.
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ﴿١﴾ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ ﴿٢﴾ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ ﴿٣﴾ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ ﴿٤﴾ وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ ﴿٥﴾
1.  Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh,
2.  Dari kejahatan makhluk-Nya,
3.  Dan dari kejahatan malam apabila Telah gelap gulita,
4.  Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
5.  Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.”
Makna Mufradat:
Arti Mufradat
1. Asalnya terbelahnya sesuatu dan jelasnya sesuatu dari yang lain. Maksudnya pada surat ini adalah semua yang dibelah Allah baik berupa bumi untuk tumbuhan, gunung untuk mata air, gunung untuk hujan, dan rahim untuk jabang bayi. 1. الفلق
2. Malam yang sangat gelap gulita. 2. غاسق
3. Masuk ke dalam apa saja dan menutupi apa saja. 3. إذا وقب
4. Nafatsah maksudnya hembusan yang keluar dari mulut. 4. النفاثات
5. Jamak dari ‘uqdah, apakah maksudnya buhul tali atau yang dimaksud ikatan cinta dan hubungan antar manusia. 5. في العقد
Syarah:
Ilustrasi (inet)
Diriwayatkan bahwa ada orang Yahudi menyihir Nabi saw. Hingga beliau sakit sampai tiga hari. Sakit beliau sangat parah sampai-sampai tidak sadar terhadap apa yang dilakukan. Kemudian Jibril datang dan memberitahu tentang bagian yang terkena sihir. Setelah itu beliau dibacakan surat An-Nas dan Al-Falaq akhirnya kembali sadar seperti semula.
Menurutku riwayat ini tidak benar sebagaimana pendapat para ulama. Ia hanya celoteh orang-orang Yahudi dengan tujuan agar manusia ragu terhadap Nabi saw. Dan menganggap beliau terkena sihir. Padahal Allah berfirman,
إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ
﴿٩٥﴾
“Sesungguhnya kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu).” (QS. Al-Hijr: 95).
Katakan kepada mereka, ya Muhammad, “Aku berlindung kepada Tuhan seluruh Alam yang dapat membelah tanah dan langit, aku berlabuh kepada-Nya dari semua kejahatan yang menimpaku, keluargaku, dakwahku, dan sahabatku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan malam jika telah menjadi gelap gulita dan menutupi seluruh alam. Karena kegelapan malam bisa menjadi tabir bagi setiap orang yang melampaui batas dan pendosa. Aku juga berlindung kepada-Mu dari para wanita peniup buhul tali yang mereka ikat.” Sebagaimana yang dijelaskan tadi. Namun maksud yang sebenarnya adalah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan para pengadu domba yang memutuskan hubungan cinta kasih. Dengan demikian ta’ pada kata,
النفاثة
bermakna hiperbol dan tidak menujukkan ta’nits (feminim). Yakni orang yang berusaha mengadu domba, mengerahkan segenap upayanya untuk menyakiti orang yang dipuji. Tidak ada jalan untuk mendapatkan keridhaan orang semacam ini. Maka tidak ada cara lain  menghadapi orang tersebut selain menghadap kepada Allah agar berkenan memelihara kita dari kejahatannya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Selasa, 12 Oktober 2010

Delapan Kunci “Menjaga” Anak

Selain delapan “kunci”, hendaknya para orangtua tampil menjadi teladan bagi buah hatinya

Hidayatullah.com--Anak merupakan amanah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena amanah, maka kelak Dia akan meminta pertanggungjawaban kepada kita atas amanah tersebut.

Jika anak-anak tumbuh menjadi shalih dan shalihah, tentu akan membawa keuntungan dunia dan akhirat bagi orangtuanya. Sebaliknya, jika orangtua lalai dalam mengajar dan mendidik, keberadaannya akan membawa bencana dunia dan akhirat.

Bukan satu dua kali kita dikejutkan dengan pemberitaan akibat ulah anak-anak kita. Seorang siswa yang sopan, tiba-tiba bisa bunuh diri. Seorang mahasiswa yang ketika di rumah kalem, tiba-tiba bisa menjadi perampok bahkan memperkosa atau membunuh teman dekatnya. Yang tak kalah mengejutkan, berita terbaru dari Jawa Timur, seorang gadis belia, sudah mampu menjadi bos mucikari dan agen pelacuran. Sungguh mengagetkan.

Ada apa yang salah dengan kita, para orangtua? Bukankah kita semua ini, adalah para sarjana dan orang-orang terdidik?

Akidah yang Benar


Sesungguhnya, agama kita (Islam) telah menetapkan banyak hal, termasuk masalah pendidikan pada anak. Ini hal yang sangat penting. Jika anak-anak memiliki akidah yang benar, maka itu lahan subur bagi tumbuhnya kebaikan-kebaikan. Tidak ada kebaikan pada diri anak yang akidahnya melenceng.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak, aku akan ajarkan padamu beberapa kalimat: Jagalah Allah pasti engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak bisa menolongmu dengan sesuatu kecuali atas hal yang telah Allah takdirkan. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat berkumpul untuk mencelakaimu, mereka tidak bisa mencelakaimu dengan sesuatu kecuali atas yang telah Allah takdirkan, pena-pena telah diangkat dan catatan-catatan telah kering.” (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi)

Memohon Pahala


Rasulullah bersabda, “Jika seseorang menafkahkan hartanya kepada keluarganya dengan mengharap pahala, maka baginya adalah pahala sedekah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Mas’ud)

Diingatkan Shalat

Shalat merupakan kewajiban paling utama seorang hamba terhadap Allah. Rasulullah menegaskan, “Perintahkan anakmu untuk shalat saat usia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika meninggalkan shalat) saat usia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Hakim, Baihaqi, dan lain-lain)

Menuntun Berakhlak Baik dan Memperbaiki Kesalahan

Umar bin Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu saat masih kecil dalam asuhan Rasulullah, tangannya ke sana ke mari di atas makanan. Dia bersabda, “Wahai anak, bacalah ‘Bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat darimu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abu Salamah)

Memisahkan Tempat Tidur

Memasuki usia sepuluh tahun, pisahkanlah tempat tidurnya. Anak-anak pada usia ini sudah terhitung dewasa dan mendekati masa baligh (puber), gairahnya mulai muncul. Maka memisahkan tidur mereka akan mencegah petaka yang tidak diinginkan. Rasulullah bersabda, “…pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, Baihaqi, dan lain-lain)

Berlaku Adil

Tidak bijak bila membeda-bedakan anak dalam berinteraksi dan menafkahi. Perlakuan pilih kasih kerap membawa permusuhan di antara saudara. Hal itu merupakan bentuk kezhaliman terhadap anak.

Rasulullah bersabda, ”Aku tidak akan bersaksi atas suatu kejahatan, takutlah kamu kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anakmu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir)

Lemah Lembut, Bermain, dan Mencium

Rasulullah tidak segan mengajak anak-anak untuk bermain, berlaku lemah lembut, serta mendekati dan mencium mereka. Simaklah bagaimana cara Rasulullah memanggil mereka, “Wahai anakku.”

Tegas Saat Diperlukan

Anak yang tidak pernah mendapat hukuman (saat diperlukan) akan mempunyai tabiat yang kurang bagus. Hendaklah orangtua bisa menunjukkan kepada anak-anak dan keluarganya bahwa dia adalah orang yang tegas dan keras saat kondisi mengharuskan itu.

Rasulullah pernah bersabda, “…pukullah mereka (jika meninggalkan shalat) saat usia sepuluh tahun.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).

Juga, “Gantunglah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluargamu, karena hal itu akan menjadi sebuah pelajaran.” (Riwayat Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad)

Selain yang terurai di atas, hendaknya para orangtua tampil menjadi teladan bagi buah hatinya, lalu mengajari ilmu yang membawa kemanfaatan dunia dan akhirat, serta tidak mendoakan yang buruk kepada mereka (anak-anak). [Ali Athwa, berbagai sumber/hidayatullah.com]